Sabtu, 20 Maret 2010

DR. Ahmad Thayib


Kemarin, sudah tersebar kabar bahwa Syeikh Al-Azhar baru adalah DR. Ahmad Thayib. Mendadak terbayang dikepala ini sosok DR Ahmad Thayib yang berperawakan tenang, tatapannya tajam, namun pemikirannya sangat maju, yang paling menonjol dari beliau adalah "Upayanya mendialogkan Islam dengan Dunia"

Saya sebagai Alumni Al-Azhar tentu mempunyai ikatan emosi, maka sayapun ikut gembira, ketika presiden Husni Mubarok memilih beliau sebagai pemegang otoritas tertinggi di lembaga islam tertua itu. Beban ini memang sangat berat, mengingat Al-Azhar bukanlah lembaga local yang hanya mengurusi Ummat islam Mesir, tapi Ummat islam secara keseluruhan. Baik dengan pemberian beasiswa bagi murid-murid asing, atau bantuan mubaligh yang tersebar di seluruh pelosok dunia.

Hanya saja, saya sebagai murid mempunyai dua cacatan yang selama ini menjadi perhatian bahkan kritikan orang-orang di luar Al-Azhar. Mungkin juga para Masyayikh di Al-Azhar sendiri sudah tahu tentang permasalah ini tapi apa daya, kekuasaan sudah kadung membelenggu lembaga yang awalnya independent itu.
Pertama, Upayakan untuk mengurangi Intervensi pemerintah di halaman Al-Azhar. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa selama ini kurikulum Al-Azhar sedikit diatur oleh pemerintah, seperti, Materi Juz hafalan Al-Qur'an yang dikurangi, sejumlah materi pelajaran juga tidak boleh diajarkan dll.

Nyatanya lagi, dalam struktur pengurus Lembaga Al-Azhar, keterlibatan pemerintah Mubarok terlihat sangat dipaksakan sekali. Asrama mahasiswa Asing (dulu saya pernah tinggal di sini) yang dulunya selalu dipimpin oleh non militer, ketika saya di sana dan mungkin sampai saat ini, dipimpin oleh Jebolan Militer. Tak heran beberapa kebijakan pimpinan ini banyak tidak sesuai dengan kehendak Mahasiswa, bahkan kabarnya beberapa bulan lalu sempat di demo oleh anak-anak di asrama mahasiswa asing itu.

Akibat dari intervensi ini, Kharisma Al-Azhar sebagai lembaga yang dulu pernah menjadi kiblat keilmuan islam dan kejernihan ajarannya memudar. Sampai orang-orang local mesir juga sekarang banyak yang tidak mempercayai Al-Azhar sebagai lembaga Islam yang murni berjuang memajukan islam, tapi isunya malah "Al-Azhar sebagai kepanjangan tangan dari pemerintahan".

Memang, kalau saya perhatikan, sebetulnya Al-Azhar dalam dilema, disatu sisi lembaga tertua ini harus independent dengan program-progamnya, tapi di sisi lain, pemerintah terus mengawasi, kalau ada kebijakan Al-Azhar yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah, maka kebijakan Al-Azhar itu dihapus, meskipun itu lebih benar dalam konteks Al-Azhar.
Ada wacana, bahwa intervensi pemerintah mesir terhadap Al-Azhar adalah untuk mengurangi pengaruh Al-Azhar terhadap rakyat mesir, yang dulunya rakyat lebih percaya ke lembaga ini, bukan pada pemerintah.
Wacana lainnya, adalah tekanan pemerintah Amerika serikat kepada mesir untuk mengurangi pengaruh islam di negeri seribu menara itu. Hal ini bukan tidak mungkin sebenarnya, melihat selama ini, memang sukutu dekat Amerika.

Kedua, harapan untuk mepertahankan sikap tasammuh dan dialog keagamaan Al-Azhar yang selama ini sering kampanyekan oleh Al-marhum Syiekh thantawi. Upaya ini juga efektif di bawah pimpinan Syeikh Thantawi tapi kurang gregetnya. Apalagi Syeikh thayib lulusan sorbone, beliau seharusnya mempunyai peta yang lebih punya greget bagaimana bisa efektif mendialogkan islam dengan dunia, khusnya menghilangkan stigma negative barat terhadap islam selama ini.

Tidak ada komentar: