Rabu, 20 Januari 2010

Untung Rugi dan Kemanusian

Kalau anda seorang pebisnis, kerap akan anda temukan kata-kata untung dan rugi. Kalau anda tidak untung dalam usaha anda ya rugi, begitu juga sebaliknya kalau anda tidak rugi ya untung. Hal ini sesuai dengan profesinya sebagai pedagang, dan di waktu dia berdagang.

Namun, Patokan untung dan rugi pada zaman sekarang sudah melampaui dunia bisnis, dalam artian sudah merambah pada interaksi social sehari-hari. Bahkan bisa juga sudah menjadi watak dari pola piker sebagian dari manusia. Atau mungkin, pikiran itu sudah menjadi trend manusia modern termasuk kita sendiri, dengan tanpa sadar? Jika benar begitu. Habislah kemanusian?

Contoh yang paling gampang dan menjadi tontonan atau bacaan kita sehari-hari adalah gerak-gerik politikus dan pejabat negera kita. Lihat bagaiman mereka bertikai mencari keuntungan, baik untuk partainya ataupun untuk pribadinya. Mengusut bank bermasalah saja, dipermasalahkan dari partai mana ketuanya? meng-untung-kan nggak untuk partai? Inikan namanya bisnisman politik, bukan lagi politikus yang mementingkan norma kebenaran manusia secara umum.

Fenomena untung-rugi, banyak kita lihat dalam hubungan persahabatan. Persahabatan itu akan melekat ketika dia mempunyai hal yang meng-untung-kan buat kita. Kita bersilaturrahmi lewat telfon, ber-akrab-akrab dengan dia, menanyakan kabar tiap akhir pekan dll. Tapi ketika dia tidak lagi meng-untung-kan buat kita, maka dengan sendirinya, kebiasan di atas akan lenyap sedikit demi sedikit. Mungkin sering kita tidak sadar dengan hal-hal seperti itu, namun sebenarnya kita sudah terjebak dalam pola piker untung-rugi dalam persahabatan, tanpa mementingkan arti persahabatan yang lebih bernilai kermunian menyayangi manusiaan tanpa memandang untung atau rugi. Inilah pelaku bisnis dalam persahabatan.

Bukan hanya dalam hal persahabatan, dalam keluargapun banyak kita temukan. Misalkan seseorang yang mempunyai uang banyak atau kedudukan yang tinggi, maka saudara-saudanya yang lain akan mengaku saudara padanya, bahkan yang tidak memiliki hubungan apapun akan menghubungkan persaudaraan. Namun, ketika dia jatuh dari kursi dan hartanya, maka semuanya akan menjauh, menjauh seperi tidak pernah lagi terjalin persaudaraan antara mereka.

Di UAE sering saya menemukan "matinya kemanusiaan", "matinya perasaan", "matinya hati". Semua serba berpola piker bisnis, bisnis dan bisnis. Mungkin pola pikir ini dampak dari minimya pendidikan dan minat untuk berpendidikan di UAE. Minat bisnis (menghasilkan uang ) lebih besar dari minat berpendidikan mereka. Gedung-gedung tinggi pencakar langit itu telah menjadi penghalang nilai-nilai kemanusian mereka.

Layaklah kalau banyak orang mengatakan "tidak ada persahabatan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan" , pepatah arab juga bilang "jikalau kita sedikit uang maka tidak seorangpun yang mendekati kita, akantetapi jikalau kita mempunyai banyak uang maka semua akan mendekati kita".

Namun saya optimis, selama kita mau belajar (menggunakan otak) dan mau berpendidikan (menggunakan hati), maka nilai-nilai kemanusiaan itu akan selalu ada dalam diri kita.

Tidak ada komentar: