Jumat, 31 Oktober 2008

Kue*

*Tulisan lamaku, semoga bermanfaat


Terkadang manusia hanya menyisakan keyakinan untuk hidup tanpa suatu apapun. Demikian juga dengan diriku saat ini, hanya keyakinan yang sedang aku jadikan payung menghadapi panas dan hujan dalam hidup.

Meskipun keadaan terus berkerut, tapi kehidupan harus tetap berlanjut. Uang seribu yang dulunya sangat berarti buat diriku, sekarang menjadi barang mainan anak kecil di sekolahan, tanpa mendapatkan sesuatu apapun. Hanya keyakinan, itulah mungkin satu alasan buatku mengapa aku harus tetap bertahan untuk hidup.

“Dimas!, kemari bantu ibu.” Suara yang sangat kental dengan kue. Ya! Untuk menutupi kehidupan hidup kami. Aku dan ibu berjualan kue, berkeliling dusun menjajakan apa yang dapat kami jual, kue!.

Jalur kami selalu bergantian. Kadang ibu ke timur dusun aku ke barat, atau kalau ibu mau ke barat aku gantinya ke timur. Cara kami menjual kue dengan berteriak keras, “kue-kue” Dengan harapan orang yang mendengar akan tertarik kemudian membeli.

Setiap kami menjajakan, melewati dua dusun sudah selelesai, itupun kalau nasib sedang baik. terkadang lima dusun juga kami tempuh kalau sudah nasib tidak berpihak pada kami. Jalanan yang kutempuh ,aku anggap sebagai titian hidup permanen, karena dengan kue ini aku bisa merasakan kehidupan. Tidak ada istilah masa kecil ataupun remaja buatku, semua hanya aku dan pekerjaan menjajakan kue.

Ketika kue habis terjual, maka adik kecil yang masih kelas enam SD itu akan berlocat riang gembira. Dia akan berkata, “Hore..hore.. kakak hebat, bisa menjual habis kue, wah kakak hebat ya!.”

“Ternyata kau juga merasakan nasib adikku” Sambil kuelus kepalanya kemudian kudekap dengan rasa iba. Sekecil itu dia harus merasakan nasib seperti ini, masa kecil kurang bahagia.

Demikian juga ibuku, dengan alas kaki yang sudah mulai lusuh akibat terjalan batu jalanan, ibuku masih tetap semangat untuk hidup. “Kaki yang sudah mulai kurus dan kriput” Kataku pada ibu suatu ketika, tersenyum. Setiap pulang dari menjajakan kue dan memasuki pekarangan rumah warisan almarhum ayahku, maka selalu aku dapatkan ibu tersenyum sumringah pada kami. Selanjutnya dia akan mengabari sesuatu tentang jualannya pada kami, aku dan adik. Demikian tiap hari, selalu tersenyum.

Suatu ketika, kue kami tidak satupun terjual. Sepulangku, aku menangis, umurku memang sudah menginjak usia sembilan belas tahun, tapi mungkin karena baru sekali itu aku merasakan nasib buruk semacam ini, jadinya air mata tak terasa mahal lagi buatku.

Kureka-reka mungkin ada sesuatu yang kurang dari kueku kemarin, tidak semuanya berjalan seperti biasa, bahkan aku pulang lebih awal. Ah..mungkin hari ini orang dusun sudah bosan dengan jualanku, masih ada hari esok, lirihku dalam hati.

“Mengapa menangis kak?” Adik kecilku bertanya penasaran dari belakang. Setelah melihat kue yang masih tersusun rapi seperti waktu pagi diapun melanjutkan, “kok kuenya tidak berkurang sama sekali kak?” Kemudian dia berlari menangis tersedu masuk ke dalam kamarnya. Waktu itu akupun terkejut, aku hapus sisa air mata kemudian menyusul masuk ke dalam kamar.

“Linda kenapa?.” Tanyaku halus.

Dia masih tersedu dalam keadaan telungkup, tubuhnya yang masih kecil terus melekat pada kasur. Tangisannya semakin menjadi ketika aku merayunya dengan membelikan sesuatu, biasanya aku membelikannya mainan.

“Bagaimana kakak akan membelikanku mainan, jualannya juga tidal laku, darimana dapat uang? “ Suara itu menusukku.

“Terus kenapa linda menangis?.” Suaraku mulai agak mengeras

“Maafkan linda kak, selama ini hanya bisa membuat kakak dan ibu mananggung nasib tanpa bisa membantu apapun” Ucapnya sambil memeluk tubuhku.

“Hidup kita sudah terjadi linda, kamu belajarlah terus, biar kakak dan ibu akan terus membiayaimu sekolah. Nanti, setelah kamu kuliah, aku dan mungkin ibu ingin sekali menghadiri acara kelulusanmu, ketika itu kamu bahagia, ketika itu juga kamu akan belajar mandiri” Ucapku pada adikku mungil.

“Ayo!! kita tunggu ibu di luar, mungkin kuenya habis terjual.”

Di teras luar rumah, aku dan linda menunggu, kami berdua guyonan untuk saling menutupi kesedihan yang baru saja terjadi. Berbagai mainan kami gelar, silih berganti kami menang dan kalah, tapi adikku banyak menangnya, semoga saja dia selalu menang dalam hidupnya kelak, batinku.

Matahari sudah mulai menghilang, bulatannya hanya tinggal separuh tertutup bukit. Di mana ibu, tanyaku dalam hati. Biasanya, jam empat waktu paling akhir buat ibu, meskipun kuenya laku atau tidak. Kami terus menunggu, sampai azan maghrib tiba. Lampu- neon di jalanan sudah mulai menyala, demikian juga dengan rumahku.

“Kemana ibu ya kak, jam segini juga belum datang?” Adikku mengawali.

Rasa khawatir aku coba reda. Jawaban yang aku lontarkan pada adikku sehalus mungkin.

“Mungkin, dia bertemu teman lamanya di jalan” Lontarku sambil mengharap tidak ada khawatir lagi tentang ibu. Ketika itu juga, aku teringat ibu mempunyai penyakit sesak nafas, semenjak lima tahun yang lalu ditinggal ayah ibu mulai merasakan penyakitnya itu. Mungkin ibu sedang terkapar dijalanan, rasa takut sudah merasupiku.

Aku masih duduk di teras, kala itu, dengan keyakinan aku berharap ibu masih sehat dan selamat, Dengan keyakinan aku berharap jualan yang ibu bawa terjual dan bisa dibuat biaya bulanan adikku, sudah dua hari dia terlambat membayar.

Lampu neon sudah mulai menguasai malam dengan cahanya, aku masih menunggu di beranda rumahku, kulihat linda yang sedang memasak di dapur. Anak itu sungguh rajin, beruntung ibu melahirkan dia, bukan seperti anak pak lurah yang manja. Atau, apa mungkin keadaan akan mengubah tingkah laku seseorang?. Tidak, adikku adalah linda, dia dilahirkan untuk kami, dia rajin, dia adalah emas, dia akan memenangkan kehidupan masa depannya dengan keyakinan. Aku percaya tuhan masih adil terhadap kami.

Kutatapi jalanan sekali lagi, berharap ibu datang. betul, di sudut jalan ada bayangan perempuan, dia berjalan lemas, ada kegundahan di dalam cara perempuan itu berjalan. Perempuan dengan jualan, di atas kepalanya ada kue kehidupan. Aku yakinkan bayangan itu adalah ibu, aku keluar halaman rumah dengan rasa ingin tahu.

“Ibu” Kulihat tubuh ibu, penuh keringat, seperti orang yang baru saja melakukan perjalanan jauh. Aku bantu membawakan tempat kue di atas kepalanya. Aku lihat kue itu masih tersusun rapi tak terjual.

“Maafkan ibu nak! Tugas seorang ibu tidak dapat aku kerjakan dengan baik sekarang, bagaimana denganmu?” Tanya ibu berharap, wajahnya terhiasi dengan senyuman, senyuman yang sungguh menyimpan banyak kepedihan.

Sambil memasuki ruang tamu, aku dan adikku membopoh ibu yang agak mulai lemas tak bertenaga. Dia kemudian bertanya kembali.

“Maaf bu! Akupun juga sama, kue itu tidak satupun terjual” Jawabku singkat

Ibu memelukku, tiga mata sekaligusi menangis. Aku, Adikku juga demikian, ibupun sama.

Hanya kue hari esok adalah keyakinanku untuk segera mengakhiri tangisan ini. Aku harap kue esok itu pemberian tuhan, agar laris terjual.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

alhamdulillah
salam semangat saudaraku !!!