Kamis, 16 Oktober 2008

Gay*

*Di tengah-tengah maraknya kekerasan atas nama agama yang memasung HAM, tensi emosi saya sedikit naik, setelah orat-oret dikit akhirnya jadi. Bahwasannya kaum Gay juga manusia, jadi harus dimanusiakan

Di kamar hening, hanya ada dia dan aku. Lampu lima watt menyala samar. Terang tidak gelap pun tidak. Berdua dalam satu selimut tentu hangat. Kita berdua sudah satu rumah selama empat bulan. Semua enak, harmoni, saling pengertian, membina kasih sayang, dan hormat menghormati meskipun beda agama, aku Islam dia Kristen.

Sinar pagi menyengatku untuk bangun, jendela kamar terbuka. Kuraba beny di sampingku. "Oh sudah bangun".

Seperti biasanya. sehabis cuci muka aku menuju ke ruang depan yang terbuka, sambil memandangi taman rumah yang sudah kita rawat selama kira-kira seumur dengan hubungan kita berdua.

"Pagi" sapaku.

"Udah bangun."

"Jam berapa?"

"Delapan."

"Panas sekali pagi ini?" sambil melihat koran yang dipegang Beny.

"Iyah panas."

"Ada berita apa?"

"Headline koran ibukota hari ini, tentang aliran agama preman berjubah yang membakar padepokan aliran agama lain". Dia memulai topik sambil menunjuk pada foto pembakaran di koran itu. "Uh parah ya" timpalku.

"Luar negeri?" tanyanya meminta jawaban.

"Iya, apa beritanya?" jawabku singkat sambil menatap senyum di bibirnya.

"Hmm..aku juga belum baca, kita baca bersama ya!" dia melirik sambil tertawa, merasa ditipu, akupun menimpalinya dengan tawa juga.

"Tapi...kaum gay Amerika" bacanya tertegun sejenak, kemudian melanjutkan "mendapat kebebasan untuk menjalankan perkawinan" dia mengakhiri dengan desahan nafas menatapku.

Melihat sikap Beny, aku langsung teringat janjiku empat bulan lalu bahwa kita akan menikah secepatnya, tapi sampai sekarangpun aku belum bisa memenuhi janji itu. Sudah tiga kali kami maju ke KUA lembaga yang menangani urusan perkawinan, tapi jawabannya sama: "Tidak ada undang-undang buat kaum gay." Malah sebaliknya, seringkali kami mendapat celaan.

"Kapan mau dibuat undang-undangnya pak?" desakku suatu hari, ketika sudah ketiga kalinya maju.

"Sampai kiamatpun tidak akan pernah ada" suara bapak kepala kantor itu acuh tak acuh, emosiku sempat terpancing. Untung ada Beny segera menenangkanku ketika itu.

"Udah-udah jangan dipikirin terus, makan yuk, aku sudah masak menu kesukaanmu tuh, keburu dingin" ajakannya mengakhiri kenangan pahitku.

"Ok honey, biar belum nikah, aku sayang kamu" kukecup kening Beny, sambil menuju ruang makan.

Habis makan, dia sudah menungguku di halaman depan, sambil menenteng tas yang akan kubawa ke kantor. sebelum aku pergi, aku selalu mencium dahinya, dan dia mencium pipiku. Hati-hati sayang, jangan lupa aku selalu menunggumu di rumah.

Di separuh perjalanan, hpku berbunyi. Kulihat dari Beny. "Ada apa sayang?"

"Jangan lupa nanti sore jadwalku ke gereja dan i love you too" singkatnya, HP tertutup.

#

Aku dan dia. Kami berdua memang gay, aku suami dan dia istri. Orang bilang punya kelainan sex. Tapi bukankah setiap orang butuh kepuasaan dalam hidupnya? Bagaimana kalau aku dan Beny puas dengan hubungan gay? Salahkah? Kalau memang salah, siapa yang patut disalahkan? Bagaimana kalau ini memang takdir kita berdua sebagai pasangan gay?.

Tapi buatku, semuah sah-sah saja selama itu tidak mengganggu lingkungan sekitar, masyarakat di daerah sini memahami hubungan kita.

Sampai di suatu pagi, ketika seperti biasa kami melangsungkan kehidupan. Aku mendengar ketukan pintu depan dari kamar mandi. Beny menyambutnya. Suara laki-laki dan kerumunan orang aku dengar menanyakanku apakah aku ada di rumah. Kudengar suara Beny dengan kegagapan menjawab dengan keiyaan, aku ada di rumah. Beny mempersilahkan mereka, tapi mereka berteriak takbir, ada juga yang berteriak "bakar aja!". Seketika beny kemudian mengetuk pintu kamar mandi, mengabarkanku tentang kedatangan mereka.

Aku keluar. Puluhan orang tak kukenal sudah menungguku di depan rumah dengan pandangan sinis. Beny ketakutan, aku menenangkannya.

"Boleh kami bertanya, ada apa ini?"

Satu dari mereka maju, jenggot panjang, udel biru di kepalanya dan jubah putihnya mengingatkanku pada foto pembakaran di koran beberapa hari yang lalu itu "oh preman berjubah" kagetku, dia menghampiri. Aku pikir, dialah pimpinannya. Mata kami bertemu, bertatap tajam. Kemudian dia melempar pandangan ke arah belakang, berteriak takbir. Teriakan itu disambut dengan sorak takbir pula. Aku berusaha tenang menghadapi orang-orang ini.

"Mungkin anda bisa jelaskan, atas keperluan apa anda sekalian kemari? Atau marilah kita duduk dulu" ucapku dengan pelan. Sedangkan Beny terus gemetar, dia tetap berada di belakangku. tangannya erat memegang lenganku "tenang" bisikku padanya.

"Anda berdua harus tahu, di sini bukan Eropa ataupun Amerika" suaranya merendah menatap mataku.

Aku mengangguk sambil menerka apa yang mereka inginkan.

"Di sini daerah mayoritas muslim!!! Kalau anda gay bukan di sini tempatnya" suaranya keras sambil mengangkat tangan ke arah belakang, di sambut sorak ramai "setuju!!!"

"Saudara-saudara, tunggu!" teriakku spontan. "apakah kalian lupa, bahwa kami berdua juga manusia, butuh hidup, butuh kepuasan, butuh..yah...layaknya manusia biasa seperti kalian" kutelan ludahku, berharap mereka mengerti. "Tapi, kami berdua memang diberi yang berbeda dari kalian, tolong saudara-saudara sekalian mengerti, kalau memang dari hukum agama dilarang, tolong lihat kami sebagai sesama manusia! kalau memang anda menginginkan kami pindah, baik kami akan pergi, tapi tolong manusiakanlah kami, jangan main kasar" aku menutup kalimat dengan menepuk ke sisi dada mengharap pengertian mereka.

"Tidak bisa, bakar saja!!!" celutuk satu dari mereka.

"Maksiat pada Allah, rajam saja!!!"

"Jangan tanggung bunuh saja!!!" suara mereka semakin bulat.

Beny semakin keras mengepal takut pada lenganku. Sedangkan aku sendiri mendengar teriakan itu seperti gongongan gerombolan anjing yang siap menerkam kapan saja. Mataku yang telanjang merasa ketakutan melihat tubuhnya yang penuh bulu berubah menjadi anjing. Tangannya nampak mengeluarkan cakar, tajam. Sedangkan kepalanya lonjor keras, seolah-olah lebih keras dari otak ummat nabi luth sendiri. Kuusap mataku, tapi tidak berubah. Mereka tetaplah gerombolan anjing yang siap mencabik-cabik kapan saja.

"Kok mereka berubah?" batinku.

Jelang beberapa menit terdengar suara truk datang dari sebelah kanan dan kiri jalan rumahku, suaranya seperti gerombolan di depanku ini, tapi yang ini ratusan. Aku semakin bingung.

"Sudah saatnya, bakar saja" mereka bersorak sambil melempar apa yang mereka bawa, dari atas truk, ratusan orang dengan pakaian dan teriakan yang sama turun bergabung menyalakan api.

Aku tarik Beny keluar dengan susah payah dan banyak luka, menyelamatkan diri dari amukan orang berjubah yang semakin lama semakin semangat menjarahi dan membakar rumah. Seolah-olah dengan membakar rumah kami, mereka akan masuk surga. Seolah-olah dengan membakar mobil kami mereka akan berjasa merubah ketidak normalan kaum gay seperti kami. Seolah-olah dengan semua itu, mereka akan disayang tuhan dan mendapat pahalanya.

Sejak itu, aku hanya menunggu. Sedangkan Beny menangis sekencang-kencangnya. Masyarakat hanya bengong melihat semua itu terjadi. Pak RT mengamankan kami berdua dari bidikan gerombolan itu di rumahnya. Ingatan apa yang mereka perbuat masih jelas, ada semacam trauma di kepalaku. Aku mencoba menenangkan Beny "sudahlah yang penting kita selamat ya."

"Tenang dik, yang penting adik berdua selamat, minum dulu" tutur pak RT sambil menyuguhkan air putih dengan nafas tak teratur. "Mereka sebenarnya syetan yang selalu membawa-bawa nama tuhan, preman berjubah" lanjut pak RT, akupun masih terdiam dan Beny masih mengusap matanya yang basah. "Maaf saya tidak bisa melindungi rumah kalian, percuma ngomong sama mereka, otaknya keras" pak RT menyudahi kalimatnya dengan melihat bumbungan asap berasal dari rumah kami melalui kaca jendela kecil. Dari jendela itu juga aku melihat bumbungan asap itu bukanlah surga yang mereka harapkan tapi neraka, bukanlah pahala yang mereka akan terima tapi sebuah dusta atas agama.

"Islam versi apa ini?" celutuk pak RT masih bengong menatap bumbungan asap

Tidak ada komentar: