Jumat, 17 Oktober 2008

Siang ini

Benar apa kata pak Sobary dalam tulisannya di Kompas, ide muncul di mana saja, kapan saja. Kalau sudah muncul maka di saat itulah orang semacam pak Sobary menuliskan ide-ide yang muncul, tentu dengan harapan ide yang kita dapat tidak hilang begitu saja dengan cepat. Saya kira, hal seperti ini tidak hanya harus terjadi pada sosok Sobary saja, tapi kepada semua penulis, baik pemula atau yang sudah matang. Karena memang ide itu mahal, belum tentu kita mendapati ide itu lagi di lain waktu, sehingga dengan begitu kita perlu mengikatnya dengan menuliskan pada sebuah kertas atau komputer.

Siang ini, saya iseng menyuruh teman mengcopy film yang dia ceritain tadi pagi. Judulnya mereka memanggil aku monyet, film lama. Ternyata isi dari film itu hanyalah satu, dia (nama tokoh utama Djeng) mencari identitas ibunya, di permulaan dia menulis ibuku adalah seorang yang baik, tapi kemudian dia menghapusnya karena dia merasa bahwa ibunya tidak baik, ada kelakuan ibunya yang tidak sesuai dengan kata-kata itu. Kemudian dia menuliskan lagi dengan tulisan dasar " ibuku adalah seorang....." sampai di akhir film, setelah dia mencoba mengingat dan mengalami rentetan pengalaman hidup dengan ibunya, dia kemudian bisa menyimpulkan bahwa "ibuku adalah seorang lintah darat".

Film itu dari segi action dan jumlah artis tidaklah keren-keren banget. Bahkan mereka hanya menyewa beberapa artis senior, lainnya wajah baru, mungkin untuk mendukung mereka yang yunior, para senior tadi seperti bucek dan lainya. Dari segi biaya, tidak tampak mewah sama sekali bahkan terkesan film ini sangat irit pada biaya, karena jumlah pemain yang ada dalam film ini bisa dihitung dengan jari, bahkan lokasi syuting itu-itu saja, tidak ada lakon yang melibatkan orang banyak.

Tapi ada satu hal yang menarik parhatian saya dalam film ini, yaitu bagaimana seseorang tokoh utama film ini dengan kondisi lahir batinnya sangat hancur diakibatkan dari rumah tangganya yang retak, model hidup yang tidak teratur; merokok, minum bir, sex bebas, selingkuh, namun masih bisa menulis menghasilkan suatu karya yang terbit di media masa.

Hal ini sangat bertentangan sekali dengan asumsi yang seringkali saya dengar, bahwa menulis memerlukan kejernihan hati dan ketulusan niat. Tapi film ini sudah membuktikan bahwa dalam kondisi apapun seseorang bisa mendapatkan ide dan menghasilkan sebuah karya. Tidak melulu perlu dalam kondisi jenih hati dan tulus niat.

Menurut saya, kepenulisan itu tidak ada sangkutpautnya dengan hati jernih dan tulus niat, asal ada ide, maka kita bisa menuliskan ide itu dalam kondisi apapun.

Pertanyaannya, apakah tulisan dengan kondisi amburadul seperti di atas bisa menghasilkan tulisan baik dan bermanfaat? Apakah keterkaitan kejernihan jiwa memeng diperlukan untuk menghasilkan tulisan yang baik? Pertanyaan yang saya kira perlu dijawab lewat pengalaman dan karakteristik masing-masing orang. mungkin bagi penulis mapan prinsip itu diperlukan, tapi bagi penulis anti kemapanan, kapanpun anda bisa menulis dengan hasil yang baik asal anda mau menulis. Saya sendiri punya pengalaman pribadi berkaitan dengan ini, tapi nanti saja ceritanya, udah kebelet nih.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

haloo tulisannya sangat bagus dan bernas saya menikmatinya dengan baik hingga lupa makan akhirnya kelaparan, mohon kami diajak ke Thailand Rousteran agar penyakit kelapan ini bisa sembuh

Kapan? Ditunggu :D